PERANAN BUDAYA
TERHADAP
PERTUMBUHAN GEREJA
TERHADAP
PERTUMBUHAN GEREJA
A. Pendahuluan
Gereja Tuhan sudah berdiri kurang lebih 2000 tahun yang lalu, sampai sekrang ini masih banyak gereja yang belum mengalami pertumbuhan. Banyak orang melihat bahwa gereja yang bertumbuh adalah jikalau jemaatnya berkualitas, bagi mereka kuantitas tidak begitu penting. Akan tetapi gereja yang bertumbuh tidak hanya dilihat dengan kualitas saja, melainkan juga dengan kuantitas dan begitu juga sebaliknya. Didalam Alkitab gereja mula-mula mengalami pertumbuhan yang sangat luar biasa baik secara kualitas maupun secara kuantitas melalui pelayanan para rasul. Dan semua itu tidak terlepas dari pada karya Roh Kudus. Kesuksesan gereja mula-mula disebabkan, salah satunya adalah karena para rasul memanfaatkan budaya dimana mereka melayani untuk menjadikan sebagai sarana penginjilan. Mereka melakukan sebuah pendekataan lewat budaya tersebut baik melalui budaya Yahudi, Yunani dll, sehingga orang-orang mudah menerima mereka dan juga ajaran yang mereka sampaikan.
Melalui budaya ini para rasul mengunakannya sebagai sarana penginjilan, sehingga jemaat yang ada tidak hanya digembalakan supaya berkualitas melainkan menyebar luaskan Injil itu lewat budaya supaya jumlah mereka bertambah banyak (kuantitas). Oleh sebab itu pada makalah ini penulis memabahas tentang peranan budaya terhadap pertumbuhan gereja. Kira-kira dengan adanya budaya apakah gereja bisa bertumbuh atau tidak?. Untuk menjawab pertanyaan ini dapat dilihat pada bab berikutnya.
B.
Apa itu Budaya
Menurut
KBBI budaya adalah pikiran, akal budi, hasil, adat istiadat, atau sesuatu yang
menjadi kebiasaan yang susah dubah.[1]
Drs. R. Soekmono mengatakan bahwa kebudayaan adalah hasil usaha manusia untuk
mengubah, memberi bentuk serta menyusun pemberian alam sesuai dengan kebutuhan
jasmani dan rohaninya.[2] Seorang
antropolog Kristen yang bernama Charles Kraft mendefinisikan budaya itu yaitu:
Sebagai
sistem yang mencangkup seluruh cara hidup dan cara berpikir sekelompok
masyarakat sehingga mereka dipersatukan
den memberi kelompok tersebut rasa jati diri dan harga diri. Kemudian budaya
juga menunjukkan cara bagaimana sekelompok masyarakat bertindak bersama agar
tetap bertahan dan dapat mengunggkapkan rasa dan keyakinan serta mewujudkan
kesenangan hidupnya.[3]
Jadi
dengan beberapa defenisi diatas, dapat disimpulkan bahwa budaya adalah suatu
kebiasaan manusia baik, cara hidup maupun cara berpikirnya untuk membawa dia
kepada suatau kesenangan untuk menikmati hidupnya.
C.
Peranan Buadaya
Dalam Pertumbuhan Gereja
Budaya
merupakan suatu komponen yang sangat penting dalam perumbuhan gereja, disamping
komponen lain seperti Firman Tuhan, Karya Roh kudus, doa dan kepemimpinan dll. hal
ini disebabkan karena budaya dapat dipakai sebagai sarana untuk memberitakan
Injil bagi mereka yang belum mengenal injil. Oleh sebab itu budaya sangat
berperan untuk membantu pertumbuhan gereja secara kuantitatif. Didalam Alkitab
dapat dilihat dengan jelas bagaimana pernanan budaya dalam pertumbuhan gereja.
Salah satunya adalah seperti yang dilakukan Rasul Paulus dalam pelayanannya salah
seorang sosok yang sangat terkenal dalam Perjanjian Baru, dimana ia
menyampaikan Injil itu melalui budaya. Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa
budaya bukanlah suatu hal yang menjadi tantangan bagi pertumbuhan gereja,
karena Allah sendiri tidak menolak budaya. Hal ini dapat kita buktikan melalui
Tuhan Yesus sendiri ketika ia berargeumen kepada Ahli-ahli Taurat dan
orang-orang Farisi mengatakan bahwa “janganlah
kamu berpikir bahwa aku datang bukan meniadakan Hukum Taurat dan para nabi; Aku
datang buka untuk meniadakannya melainkan untuk menggenapinya”.[4] Dalam
karya tulis Widi Artanto yaitu “Menjadi
Gereja Misioner”, mengatakan bahwa kebudayaan secara keseluruhan tidak lain
adalah pernyataan daya kreatifitas Allah yang diterjemahkan kedalam
bentuk-bentuk peristiwa aktual.[5]
Cara
yang dipakai Paulus untuk menyebarluaskan Injil yaitu dengan melakukan
pendekatan terhadap budaya setempat supaya dia dan ajarannya tidak ditolak (Kis
17:16-34). Peristiwa ini terjadi di Atena yang terkenal sebagai pusat
penyembahan berhala. Dikota ini ini terkenal dengan kuil-kuil, patung-patung,
dan tugu-tugunya.[6]
Cara yang dilakukan Paulus yaitu ia mengamti kehidupan agama (komponen budaya)
orang Yunani yang memiliki kepercayaan kepada dewa-dewa berhala. Kemudian ia
masuk rumah sembahyang orang Yahudi dan bertukar pikiran dengan orang Yahudi
(ay 17). Disina ia tidak berhenti, melainkan ia memperkenalkan Injil kepada
para ahli filsafat tersebut yaitu golongan Epikuros dan Stoa melalui budaya
tukar pikiran. Dan karena orang-orang tersebut ingin mengenal filsafat baru
Paulus mereka mengundang dia ke Areopagus, disana mereka beradu argumentasi (ay
18-21). Dalam menemukan Injil dalam argumentasinya, Paulus membuka denga
menemukakan kehidupan budaya orang Yunani yaitu penyembahan kepada dewa-dewa
dikuil-kuil, tetapi dalam pandangan positif.
Untuk
memperkenalkan injil tersebu Paulus dengan berani mengambil salah satu kuil
yang didirikan bagi dewa, untuk memakainya sebagai jembatan dalam agama mereka
untuk memperkenalkan Allah yang benar (ay 22:23). Dalam Injil, Paulus juga
tidak segan mengutip para pujangga mereka (budaya seni sastra setempat) yang
mengatakan “sebab kita ini dari keturunan Allah juga” (ay 28). Kemudian ia
menantang mereka untuk menanggapi berita Injil dengan bertobat. hasil dari
pendekatan yang dilakukannya ini adalah ada yang menolak dan pergi dan juga ada
yang percaya diantaranya anggota majelis Areopagus, Dionisius, seorang
perempuan Damaris dan banyak lagi lainnya (ay 29-34).[7]
Oleh sebab itu tidak salah kalau dikatakan bahwa berdirinya jemaat di Antena
adalah merupakan hasil dari pengnjilan yang dilakukan oleh Paulus dengan
menggunakan metode pendekatan secara budaya. Disini juga nyata bagaimana
pernanan budaya itu terhadap pertumbuhan gereja.
D.
Hasil Peranan Budaya
Terhadap Pertumbuhan Gereja
Pada
bagian atas Paulus telah memberikan sebuah gambaran yang jelas dalam
pelayanannya tentang bagaimana peranan budaya terhadap petumbuhan gereja. Dan hasil
dari peranan budaya tersebut memberikan pertumbuhan bagi gereja secara
kuantitas (secara jumlah). Cara Paulus ini menjadi berkembang dan ditirukan
oleh para gembala, para misionaris gereja. Di Indonesia dapat kita lihat
bagaimana pernanan budaya terhadap pertumbuhan gereja yang dikerjakan oleh para
misionaris seperti yang telah dilakukan Paulus pada awalnya. Di Nias Injil
diterima pertama kali melaui pendekatan secara budaya oleh para misionaris
kepada peduduk aslinya. Misionaris yang diutus kesana pada awalnya banyak
tetapi hanya salah seorang yang berhasil yaitu Pdt. E Denninger 1865.[8]
Denninger berhasil memenagkan jiwa-jiwa suku Nias karena ia menyampaikan Injil
lewat budaya orang Nias, sehingga bagi orang Nias cara itu sangat mudah bagi
mereka untuk memahaminya dan juga tidak secara langsung menentang kabudayaan
yang sudah ada. Denninger awalnya ia dengan belajar bahasa dan adat-istiadat
Nias, dan melalui itu sekalian ia memberikan pemahaman tentang Injil. Dan hasil
pelayanannya itu semua penduduk Nias menerima Injil dan mendirikan gereja.
Begitu
juga dengan daerah batak yang terkenal dengan penduduk Kristena terbesar di
Asia tenggara. Injil diterima didaerah ini sama dengan daerah Nias tadi yaitu
melalui pendekatan lewat budaya oleh Nommense. Ia mengawalinya dengan belajar
budaya setempat sambail memberitakan Injil. Pada hal banyak para misonaris
sebelumnya yang mati disitu karena pemberitaan Injil tetapi dia tidak, karena
di memulainya dengan pendekatan budaya setempat.[9]
E. Kesimpulan
Pada
penulisan makalah ini, penulis menarik sebuah simpulan bahwa peranan budaya
sangat mempengaruhi pertumbuhan gereja secara kualitatif (jumlah). Karena
melalui budaya kita bisa pakai untuk menjadikan sarana dalam menyampaikan
Injil. Dengan cara belajar dengan budaya setempat dan memalui budaya itu dengan
pelan-pelan kita bisa mengabarkan injil kepada mereka seperti yang dilakukan
oleh Rasul Paulus. Karena melalui budaya kita bisa diterima dengan mudah oleh
mereka dan juga ajaran kita, bisa dikomunikasikan dengan mudah lewat budaya
setmpat. Oleh sebab itu melalui budaya dengan pelan-pelan kita mengubah pola
pikir mereka untuk percaya kepada ajaran kita dan juga tidak secara langsung
kita menentang ajaran kepercayaan mereka.
Daftar Pustaka
Kamus Besar
Bahasa Indonesia,
PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2008
Drs. R.
Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia, Jilid I, Nasional
Trikarya, Jakarta 1959
Sularso Sopater
dkk, Pertumbuhan
Gereja, Yayasan ANDI, Yokyakarta 1994
Niebuhr Richard
H. Kristus
dan Kebudayaan, Yayasan satya Karya, Jakarta
Artanto Widi, Menjadi
Gereja Misioner, KANISIUS, Jakarta 1997
Ensiklopedi
Alkitab Masa Kini,
Jilid I, Yayasan Komunikasi Bina Kasih, Jakarta 1992
Lase Pieter, Menyibak
Agama Suku Nias, Agiamedia, Bandung 1997
Schreiner
Lothar. Adat dan Injil, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta 1996
[2] Drs. R. Soekmono, Pengantar
Sejarah Kebudayaan Indonesia, Jilid I, Nasional Trikarya, Jakarta
1959:9
[3] Sularso Sopater dkk, Pertumbuhan
Gereja, Yayasan ANDI, Yokyakarta 1994: 149-150
[4] Niebuhr Richard H. Kristus
dan Kebudayaan, Yayasan satya Karya, Jakarta: 139
[5] Artanto Widi, Menjadi
Gereja Misioner, KANISIUS, Jakarta 1997:125
[7] Ibid. Sularso Sopater dkk:
153-154
[8] Lase Pieter, Menyibak
Agama Suku Nias, Agiamedia, Bandung 1997:1
[9] Schreiner Lothar. Adat
dan Injil, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta 1996:8-9